IMPLEMENTASI PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP DI SEKOLAH


A.    Pendahuluan
Pendidikan adalah salah satu betuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan sarat perkembangan. Karena itu, perubahan atau perkembangan pendidikan  adalah hal yang memang seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan budaya kehidupan. Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan pada semua tingkat dan pada setiap bidang keilmuan perlu terus menerus dilakukan sebagai antisipasi kepentingan masa depan.

Pertumbuhan penduduk yang tinggi memacu pembangunan dalam berbagai bidang, salah satunya bidang ekonomi. Pembangunan yang dilakukan secara besar - besaran di Indonesia diyakini dapat meningkatkan kemakmurandan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan yang dilakukan secara besar – besaran ini selain memberikan dampak yang positif, tetapi memberikan dampak negatif terhadap lingkungan hidup.

Dampak negatif dari pembangunan ini sekarang sudah menjadi masalah besar di negara kita. Mulai dari banjir yang terjadi di berbagai daerah hingga masalah  yang bersifat global yaituGlobal Warming atau kita menterjemahkannya sebagai pemanasan Global. Karena dampak negatif kerusakan lingkungan sudah menjadi masalah besar, saat ini kesadaran akan pentingnya lingkungan sudah mulai tumbuh.

Salah satu bentuk kesadaran ini dimanifestasikan dalam bidang pendidikan melalui pengintegrasian materi Pendidikan Lingkungan Hidup sebagai salah satu muatan lokal. Hal ini sudah mulai digagas oleh Gubernur Jawabarat melalui Peraturan Gubernur Jawa Barat, Nomor 25 Tahun 2007.

Pendidikan Lingkungan Hidup bukan satu – satunya problematika yang dihadapi dalam bidang pendidikan. World Bank dalam Indonesia Policy Brief1 menjelaskan berbagai masalah pendidikan yang dihadapi indonesia. Salah satu diantaranya yaitu ekspansi sekolah di Indonesia belum menghasilkan lulusan dengan keahlian dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk membangun masyarakat yang kokoh dan ekonomi yang kompetitif di masa yang akan datang.

Sebagian besar dari siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan / dimanfaatkan.Pengetahuan hanya bertahan sebentar kemudian “menguap” begitu saja seolah tidak berbekas. Sebagai contoh, siswa mangetahui tentang makanan sehat, tetapi dalam kehidupan  sehari – hari tidak menunjukkan perilaku makan sehat. Siswa lebih memilih makanan fast foodsoft drink, dan makanan – makanan tidak sehat yang mengandung zat aditif daripada makan bergizi yang sehat seperti nasi, sayur dan minum susu. Contoh yang lain, siswa menguasai materi tentang pencemaran lingkungan. Tetapi dalam kehidupan sehari – hari, perilaku mereka tidak menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan. Membuang sampah sembarangan, vandalisme, penggunaan CFC, dan lain – lain. Tampaknya pengetahuan yang dimiliki oleh siswa hanya merupakan hasil transfer informasi saja, belum merupakan sesuatu yang dicari dan ditemukan sendiri sehingga dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari – hari.

Fenomena semacam ini menjadi semangat bagi para ahli dan mereka yang terlibat dalam dunia pendidikan untuk dapat lebih mengembangkan lagi cara – cara pengajaran yang diyakini dapat memperbaiki kualitas pendidikan. Salah satu cara yang dapat ditempuh yaitu pembelajaran  kontekstual. Pembelajaran kontekstual membantu guru untuk menghubungkan konten mata pelajaran dengan dunia yang sebenarnya. Juga memotivasi siswa untuk membangun hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.Masyarakat khususnya dan kota-kota besar di seluruh Indonesia mumnya sudah terbiasa dengan masalah lingkungan: bertumpuknya sampah, pencemaran udara, kebisingan, air sungai yang berwarna dan bau, kekeringan di musim kemarau, banjir di musim hujan, penurunan permukaan air tanah bahkan intrusi air laut. Kebiasaan dalam keseharian yang dihadapi terkait masalah lingkungan tersebut menyebabkan masyarakan menjadi tidak atau kurang peduli terhadap masalah lingkungan.

Ketidakpedulian ini muncul akibat berbagai sebab, salah satu diantaranya adalah kurangnya pendidikan. Oleh karena itu, penerapan penerapan pendidikan lingkungan hidup di sekolah diharapkan dapat meningkatkan kepedulian masyarakat khususnya masyarakat pendidikan dan pada gilirannya masyarakat pada umumnya terhadap masalah lingkungan yang dihadapi, meningkatkan peran serta aktif masyarakat dalam menanggulangi masalah lingkungan hidup.

Hal ini tentu sasaran dalam jangka panjang dan akan tercapai bila ada kesungguhan dalam pelaksanaan pembelajaran dan dukungan penuh dari pemerintah. Tanpa keduanya tidaklah mungkin dapat dicapai. Untuk itu apakah proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah sudah tepat dan efektif? Apakah guru-gurunya sudah memiliki kesiapan, kemampuan, dan keterampilan untuk mengajarkan PLH? Apakah sekolah/dinas pendidikan mendukung sepenuhnya program tersebut dengan menyediakan segala fasilitas dan kebutuhan untuk pelaksanaan program? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penentu keberhasilan program PLH di sekolah.

B.     Pembelajaran Lingkungan Hidup di Sekolah
Sebenarnya sejak tahun 1986, pendidikan lingkungan hidup dan kependudukan sudah dimasukkan ke dalam pendidikan formal dengan dibentuknya materi pelajaran pendidikan kependudukan dan lingkungan hidup (PKLH). Depdikbud merasa perlu untuk mulai mengintegrasikan PKLH ke dalam semua mata pelajaran.

Pada jenjang pendidikan dasar dan menegah (menengah umum dan kejuruan), penyampaian materi tentang masalah kependudukan dan lingkungan hidup secara integratif dituangkan dalam sistem kurikulum tahun 1984 dengan memasukkan masalah-masalah kependudukan dan lingkungan hidup ke dalam hampir semua mata pelajaran. Sejak tahun 1989/1990 hingga saat ini berbagai pelatihan tentang lingkungan hidup telah diperkenalkan oleh Departemen Pendidikan Nasional bagi guru-guru SD, SMP dan SMA termasuk Sekolah Kejuruan. Di tahun 1996 terbentuk Jaringan Pendidikan Lingkungan (JPL) antara LSM-LSM yang berminat dan menaruh perhatian terhadap pendidikan lingkungan. Hingga tahun 2004 tercatat 192 anggota JPL yang bergerak dalam pengembangan dan pelaksanaan pendidikan lingkungan.

Selain itu, terbit Memorandum Bersama antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 0142/U/1996 dan No Kep: 89/MENLH/5/1996 tentang Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup, tanggal 21 Mei 1996. Sejalan dengan itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Depdikbud juga terus mendorong pengembangan dan pemantapan pelaksanaan pendidikan lingkungan hidup di sekolah-sekolah antara lain melalui penataran guru, peringatan bulan bakti lingkungan, penyiapan Buku Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) untuk Guru SD, SLTP, SMU dan SMK, program sekolah asri, dan lain-lain. Sementara itu, LSM maupun perguruan tinggi dalam mengembangkan pendidikan lingkungan hidup melalui kegiatan seminar, sararasehan, lokakarya, penataran guru, pengembangan sarana pendidikan seperti penyusunan modul-modul integrasi, buku-buku bacaan dan lain-lain. Pada tanggal 5 Juli 2005, Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan SK bersama nomor: Kep No 07/MenLH/06/2005 No 05/VI/KB/2005 untuk pembinaan dan pengembangan pendidikan lingkungan hidup. Di dalam keputusan bersama ini, sangat ditekankan bahwa pendidikan lingkungan hidup dilakukan secara integrasi dengan mata ajaran yang telah ada.

Salah satu puncak perkembangan pendidikan lingkungan adalah dirumuskannya tujuan pendidikan lingkungan hidup menurut UNCED adalah sebagai berikut: Pendidikan lingkungan Hidup (environmental education – EE) adalah suatu proses untuk membangun populasi manusia di dunia yang sadar dan peduli terhadap lingkungan total (keseluruhan) dan segala masalah yang berkaitan dengannya, dan masyarakat yang memiliki pengetahuan, ketrampilan, sikap dan tingkah laku, motivasi serta komitmen untuk bekerja sama , baik secara individu maupun secara kolektif , untuk dapat memecahkan berbagai masalah lingkungan saat ini, dan mencegah timbulnya masalah baru [UN - Tbilisi, Georgia - USSR (1977) dalam Unesco, (1978)].

PLH memasukkan aspek afektif yaitu tingkah laku, nilai dan komitmen yang diperlukan untuk membangun masyarakat yang berkelanjutan (sustainable). Pencapaian tujuan afektif ini biasanya sukar dilakukan. Oleh karena itu, dalam pembelajaran guru perlu memasukkan metode-metode yang memungkinkan berlangsungnya klarifikasi dan internalisasi nilai-nilai. Dalam PLH perlu dimunculkan atau dijelaskan bahwa dalam kehidupan nyata memang selalu terdapat perbedaan nilai-nilai yang dianut oleh individu. Perbedaan nilai tersebut dapat mempersulit untuk derive the fact, serta dapat menimbulkan kontroversi/pertentangan pendapat. Oleh karena itu, PLH perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun ketrampilan yang dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah.


C.    Pendidikan Lingkungan Hidup sebagai Muatan Lokal
Tahun 2005 tanggal 3 Juni, juga telah terjadi kesepakatan bersama antara MENLH dan MENDIKNAS bertepatan dengan perayaan Pekan Lingkungan Hidup Indonesia. Tahun 2006 KLH ( Kementrian Lingkungan Hidup) mencanangkan program ADIWIYATA dan menyusun panduan dalam bentuk Garis - Garis Besar Materi (BGIM) Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) untuk jenjang Sekolah Dasar, SMP dan SMA.

Terakhir pada tahun 2007 terbit Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum Muatan LokalPendidikan Lingkungan Hidup. Peraturan Gubernur Jawa Barat ini seiring dengan penerbitan Buku Panduan Materi Lingkungan Hidup untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Saat ini di Kota Sukabumi sudah hampir seluruh sekolah menjadikan PLH sebagai salah satu muatan lokal.

D.    Masalah Lingkungan
Pertambahan penduduk yang sangat cepat menyebabkan meningkatnya segala kebutuhan baik perorangan maupun kebutuhan sosial. Setiap individu selalu ingin memenuhi kebutuhannya demikian juga dengan pemerintah dituntut untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh semua penduduk. Pemenuhan kebutuhan inilah yang memunculkan masalah lingkungan. Dengan kata lain masalah lingkungan muncul karena keinginan untuk memenuhi kebutuhan baik secara erorangan maupun sosial. Masalah dapat diartikan segala sesuatu yang merintangi atau menghalangi keinginan manusia.

Masalah juga merupakan kesenjangan antara kenyataan dan harapan atau ekspektasi yang semestinya didapatkan. Masalah lingkungan adalah kondisi-kondisi dalam lingkungan biofisik yang menghalangi pemuasan atau pemenuhan kebutuhan manusia untuk kesehatan dan kebahagiaan (James & Stapp, 1974). Masalah lingkungan yang dihadapi sekarang diakibatkan oleh tindakan manusia sendiri yang tidak pernah puas akan kebutuhannya. Pemenuhan kebutuhan yang tidak pernah puas inilah yang mengakibatkan kerusakan lingkungan.

Di dalam pemenuhan kebutuhannya sudah tidak pernah mempedulikan lagi orang lain dan lingkungan asal kebutuhannya terpenuhi, itulah nafsu manusia serakah. Masalah lingkungan yang dihadapi sekarang sudah sangat parah dan oleh karena itu pemecahannyapun tidak cukup hanya dilakukan oleh kelompok tertentu. Masalah lingkungan merupakan masalah seluruh bangsa di dunia terutama di negaranegara berkembang termasuk Indonesia. Pemecahan masalah lingkungan yang dihadapi sekarang bukan hanya tanggung jawab pendidik tetapi juga ahli hukum, dokter, politikus, dan profesi lainnya yang terlibat dalam masalah lingkungan termasuk peneliti.

Pemecahan masalah lingkungan bukan hanya merupakan tanggung jawab pemerintahan suatu negara, suatu kota tetapi menjadi tanggung jawab seluruh umat manusia yang hidup di planet bumi ini. Masalah lingkungan suatu kota atau suatu negara selalu berkaitan dengan kota atau negara lain karena memang bumi ini hanya satu dan saling berhubungan walau dipisahkan oleh batas kota atau batas Negara.

Persoalan lingkungan hidup merupakan persoalan yang bersifat sistemik, kompleks, serta memiliki cakupan yang luas. Oleh sebab itu, materi atau isu yang diangkat dalam penyelenggaraan kegiatan pendidikan lingkungan hidup juga sangat beragam. Sesuai dengan kesepakatan nasional tentang Pembangunan Berkelanjutan yang ditetapkan dalam Indonesian Summit on Sustainable Development (ISSD) di Yogyakarta pada tanggal 21 Januari 2004, telah ditetapkan 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Ketiga pilar tersebut merupakan satu kesatuan yang bersifat saling ketergantungan dan saling memperkuat. Adapun inti dari masing-masing pilar adalah :
  1. Pilar Ekonomi: menekankan pada perubahan sistem ekonomi agar semakin ramah terhadap lingkungan hidup sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Isu atau materi yang berkaitan adalah: Pola konsumsi dan produksi, Teknologi bersih, Pendanaan/pembiayaan, Kemitraan usaha, Pertanian, Kehutanan, Perikanan, Pertambangan, Industri, dan Perdagangan
  2. Pilar Sosial: menekankan pada upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Isu atau materi yang berkaitan adalah: Kemiskinan, Kesehatan, Pendidikan, Kearifan/budaya lokal, Masyarakat pedesaan, Masyarakat perkotaan, Masyarakat terasing/terpencil, Kepemerintahan/kelembagaan yang baik, dan Hukum dan pengawasan
  3. Pilar Lingkungan: menekankan pada pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan. Isu atau materi yang berkaitan adalah: Pengelolaan sumberdaya air, Pengelolaan sumberdaya lahan, Pengelolaan sumberdaya udara, Pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir, Energi dan sumberdaya mineral, Konservasi satwa/tumbuhan langka, Keanekaragaman hayati, dan Penataan ruang

E.     PLH sebagai Salah Satu Pemecahan Masalah Lingkungan
Apa yang seharusnya kita lakukan untuk memecahkan masalah lingkungan tersebut dan agar kita tetap dapat hidup selaras dengan alam? Untuk dapat memecahkan masalah lingkungan, pada prinsipnya ada tiga langkah utama yang dapat ditempuh, yaitu: Pertama menyadari adanya masalah. Sebenarnya setiap orang sudah tahu adanya masalah lingkungan yang ada di sekelilingnya, lokal, regional, nasional bahkan internasional tetapi semua kebingungan harus berbuat apa. Kedua, adalah analisis masalah untuk mengidentifikasi akar penyebab (root causes) munculnya masalah. Akar penyebab dari semua permasalahan lingkungan adalah: ledakan penduduk (overpopulation), konsumsi yang berlebihan (overconsumption), ketidakefisienan, prinsip linieritas, ketergantungan akan bahan bakar minyak, dan mentalitas untuk tetap mempertahankan kebiasaan. Ketiga, mengembangkan strategi untuk mengoreksi masalah yang ada dan mencegah terjadinya lagi di masa yang akan datang.

Penanggulangan masalah lingkungan yang ada mungkin kurang menyentuh masyarakat secara menyeluruh tetapi hanya berupa penanggulangan jangka pendek saja. Misalnya untuk menanggulangi meningkatnya kebutuhan air dibangun bendungan baru. Pembuatan bendungan baru sebenarnya menghancurkan aliran sungai, mengurangi habitat organisme, mengurangi sumber rekreasi alami, memerlukan energi dan sumber daya untuk membangun. Semestinya penanggulangannya harus melalui pemecahan yang menekankan prinsip keberlanjutan (sustainable) yaitu dengan melakukan efisiensi penggunaan air oleh setiap orang, melakukan daur ulang air dan mengurangi pertumbuhan penduduk. Pemecahan dengan memegang prinsip keberlanjutan akan melindungi sungai dan habitat liar, melindungi sumber rekreasi alami, menggunakan energi dan sumber lain yang lebih kecil. 

Hidup selaras dengan alam hanya akan dicapai jika setiap orang memahami prinsip keberlanjutan dan melaksanakan etika lingkungan. Prinsip keberlanjutan memiliki implikasi kemampuan untuk mempertahankan. Dalam konteks ekologis, prinsip keberlanjutan berarti hidup sejalan dengan daya dukung biosfir. Daya dukung biosfir adalah kemampuan alam untuk menyediakan makanan dan sumber daya lainnya serta mengasimilasikan sisa buangan seluruh organisme yang hidup. Krisis lingkungan yang sekarang kita rasakan akibatnya adalah karena kehidupan manusia sudah melebihi daya dukung lingkungan tempat kita hidup. Menurut Chiras (1993) prinsip keberlanjutan ini meliputi: konservasi (conservation), pendaurulangan (recycling), penggunaan sumber daya yang dapat dibarukan (renewable resource use), pengendalian populasi (population control) dan restorasi (restoration). Prinsip keberlanjutan ini sebenarnya dapat kita pelajari dari alam secara langsung yaitu pada ekosistem alam.

Prinsip konservasi, ekosistem alam tetap ada karena organisme menggunakan sumber daya secara efisien dan umumnya hanya menggunakan sumber daya yang dibutuhkan saja. Prinsip daur ulang, ekosistem tetap ada karena mendaur ulang nutriens, air, dan materi lain yang vital untuk kelangsungan hidup. Prinsip penggunaan sumber daya yang dapat dibarukan, organisme hidup dengan hanya menggunakan sumber yang dapat dibarukan dan hal ini penting untuk keberlanjutan ekosistem. Prinsip pengendalian populasi, ekosistem mampu menahan organisme yang hidup di dalamnya karena ada beberapa bentuk pengendalian populasi. Pengendalian populasi di alam diantaranya diakibatkan oleh cuaca buruk, predasi, kompetisi, dan kekuatan alam lainnya. Ekosistem alam mampu bertahan karena adanya proses regenerasi melalui proses suksesi. Alam memiliki kemampuan merestorasi sendiri sehingga mampu mendukung kelangsungan hidup.

Sebaliknya, manusia menggunakan sumber daya secara tidak efisien, membuang  bahan buangan dan sampah, menggunakan sumber daya secara tidak terkendali dan menggunakan sumber daya yang tidak dapat dibarukan, pertambahan penduduk yang tidak terkendali, dan manusia melakukan perusakan alam tanpa memperbaikinya. Untuk menangani masalah ini bukan hanya memberlakukan kebijakan pemerintah (misalnya hukum) tetapi yang lebih penting adalah pengubahan gaya hidup setiap manusia. Sekali lagi karena masalah lingkungan adalah tanggung jawab semua manusia yang hidup. Gaya hidup yang dapat memecahkan masalah adalah gaya hidup yang memegang prinsip keberlanjutan dan menerapkan etika lingkungan di dalam kehidupannya serta menerapkan prinsi 4R, yaitu:Reduce (mengurangi penggunaan sumber daya alam), Reuse (menggunakan kembali sumber daya yang masih dapat digunakan), Recycle (mendaur ulang bahan), dan replanting (menanam kembali).

Prinsip etika lingkungan (Chiras, 1993) adalah: Pertama, bumi memiliki persediaan sumber daya alam yang terbatas dan harus digunakan oleh semua organisme. Kedua, manusia merupakan bagian dari alam oleh karena itu harus tunduk kepada hukum-hukum alam dan tidak kebal terhadap hukum alam tersebut. Manusia bukan merupakan puncak pencapaian alam tetapi merupakan anggota dari jaringan kehidupan yang saling berhubungan sehingga harus patuh kepada hukum-hukum dan keterbatasan-keterbatasan alam. Ketiga, keberhasilan manusia terletak dalam bentuk kerjasama dengan kekuatan-kekuatan alam bukan mendominasi alam. Keempat, ekosistem yang berfungsi baik dan sehat adalah sangat penting bagi semua kehidupan. Menurut Chiras (1992) masyarakat yang mampu mempertahankan dan memelihara lingkungan (sustainable society) memiliki karakter: sangat alami (very nature), berpikir dan bertindak menyeluruh (holistic), selalu mengantisipasi kemungkinan yang ditimbulkan (anticipatory), dan semua keputusannya selalu menekankan kepada biosfer keseluruhan dan selalu mengantisipasi semua akibat yang ditimbulkan menembus ruang dan waktu. Bila masyarakat dalam hidup di lingkungannya berpedoman kepada prinsip keberlanjutan dan etika lingkungan serta menerapkan prinsip 3R (reduce, reuse dan recycle) dan untuk sekarang perlu ditambah dengan satu R lagi (replanting) maka masalah lingkungan akan dapat dihindarkan.

Masalah lingkungan disebabkan karena ketidakmampuan mengembangkan sistem nilai sosial, gaya hidup yang tidak mampu membuat hidup kita selaras dengan lingkungan. Membangun gaya hidup dan sikap terhadap lingkungan agar hidup selaras dengan lingkungan bukan pekerjaan mudah dan bisa dilakukan dalam waktu singkat. Oleh karena itu jalur pendidikan merupakan sarana yang tepat untuk membangun masyarakat yang menerapkan prinsip keberlanjutan dan etika lingkungan. Jalur pendidikan yang bisa ditempuh mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai dengan Perguruan Tinggi. Oleh karena itu tujuan jangka panjang PLH adalah mengembangkan warga negara yang memiliki pengetahuan tentang lingkungan biofisik dan masalahnya yang berkaitan, menumbuhkan kesadaran agar terlibat secara efektif dalam tindakan menuju pembangunan masa depan yang lebih baik, dapat dihuni dan membangkitkan motivasi untuk mengerjakannya (Stapp, et al.1970). Pendidikan Lingkungan Hidup memiliki tujuan seperti yang dirumuskan pada waktu Konferensi Antar Negara tentang Pendidikan Lingkungan pada tahun 1975 di Tbilisi, yaitu: meningkatkan kesadaran yang berhubungan dengan saling ketergantungan ekonomi, sosial, politik, dan ekologi antara daerah perkotaan dan pedesaan; memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, sikap tanggung jawab, dan keterampilan yang dibutuhkan untuk melindungi dan meningkatkan lingkungan; menciptakan pola baru perilaku individu, kelompok dan masyarakat secara menyeluruh menuju lingkungan yang sehat, serasi dan seimbang. Tujuan pendidikan lingkungan tersebut dapat dijabarkan menjadi enam kelompok, yaitu:

  1. Kesadaran, yaitu memberi dorongan kepada setiap individu untuk memperoleh kesadaran dan kepekaan terhadap lingkungan dan masalahnya.
  2. Pengetahuan, yaitu membantu setiap individu untuk memperoleh berbagai pengalaman dan pemahaman dasar tentang lingkungan dan masalahnya.
  3. Sikap, yaitu membantu setiap individu untuk memperoleh seperangkat nilai dan kemampuan mendapatkan pilihan yang tepat, serta mengembangkan perasaan yang peka terhadap lingkungan dan memberikan motivasi untuk berperan serta secara aktif di dalam peningkatan dan perlindungan lingkungan.
  4. Keterampilan, yaitu membantu setiap individu untuk memperoleh keterampilan dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah lingkungan.
  5. Partisipasi, yaitu memberikan motivasi kepada setiap individu untuk berperan serta secara aktif dalam pemecahan masalah lingkungan.
  6. Evaluasi, yaitu mendorong setiap individu agar memiliki kemampuan mengevaluasi pengetahuan lingkungan ditinjau dari segi ekologi, social, ekonomi, politik, dan faktor-faktor pendidikan. (Adisendjaja, 1988).
Berdasarkan tujuan di atas, tersirat bahwa masalah lingkungan hidup terutama berkaitan dengan manusia, bukan hanya lingkungan. Oleh karena itu dalam pengembangan program PLH harus ditujukan pada aspek tingkah laku manusia, terutama interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya dan kemampuan memecahkan masalah lingkungan. Dengan demikian guru PLH tidak cukup hanya dengan memiliki pemahaman tentang lingkungan, tetapi juga harus memiliki pemahaman mendasar tentang manusia (James & Stapp, 1974). Setiap teori dalam PLH harus merupakan peleburan dari dua kelompok pengetahuan tersebut.Pendidikan lingkungan hidup haruslah:

  1. Mempertimbangkan lingkungan sebagai suatu totalitas — alami dan buatan, bersifat teknologi dan sosial (ekonomi, politik, kultural, historis, moral, estetika);
  2. Merupakan suatu proses yang berjalan secara terus menerus dan sepanjang hidup, dimulai pada jaman pra sekolah, dan berlanjut ke tahap pendidikan formal maupun non formal;
  3. Mempunyai pendekatan yang sifatnya interdisipliner, dengan menarik/mengambil isi atau ciri spesifik dari masing-masing disiplin ilmu sehingga memungkinkan suatu pendekatan yang holistik dan perspektif yang seimbang.
  4. Meneliti (examine) issue lingkungan yang utama dari sudut pandang lokal, nasional, regional dan internasional, sehingga siswa dapat menerima insight mengenai kondisi lingkungan di wilayah geografis yang lain;
  5. Memberi tekanan pada situasi lingkungan saat ini dan situasi lingkungan yang potensial, dengan memasukkan pertimbangan perspektif historisnya;
  6. Mempromosikan nilai dan pentingnya kerjasama lokal, nasional dan internasional untuk mencegah dan memecahkan masalah-masalah lingkungan;
  7. Secara eksplisit mempertimbangkan/memperhitungkan aspek lingkungan dalam rencana pembangunan dan pertumbuhan;
  8. Memampukan peserta didik untuk mempunyai peran dalam merencanakan pengalaman belajar mereka, dan memberi kesempatan pada mereka untuk membuat keputusan dan menerima konsekuensi dari keputusan tersebut;
  9. Menghubungkan (relate) kepekaan kepada lingkungan, pengetahuan, ketrampilan untuk memecahkan masalah dan klarifikasi nilai pada setiap tahap umur, tetapi bagi umur muda (tahun-tahun pertama) diberikan tekanan yang khusus terhadap kepekaan lingkungan terhadap lingkungan tempat mereka hidup;
  10. Membantu peserta didik untuk menemukan (discover), gejala-gejala dan penyebab dari masalah lingkungan;
  11. Memberi tekanan mengenai kompleksitas masalah lingkungan, sehingga diperlukan kemampuan untuk berfikir secara kritis dengan ketrampilan untuk memecahkan masalah.
  12. Memanfaatkan beraneka ragam situasi pembelajaran (learning environment) dan berbagai pendekatan dalam pembelajaran mengenai dan dari lingkungan dengan tekanan yang kuat pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya praktis dan memberikan pengalaman secara langsung (first – hand experience).

Selanjutnya, tujuan PLH harus sejalan dengan tujuan pendidikan secara umum. Sangat tidak realistik memikirkan pendidikan manusia dalam segmen-segmen. Hal penting lainnya adalah membantu manusia merealisasikan potensinya. Kegagalan PKLH yang lalu karena lembaga pendidikan formal terlalu menekankan kepada pencapaian individu untuk bersaing menjadi yang terbaik untuk mendapatkan penghargaan. Akibatnya individu menjadi egocentrisdan sulit untuk menempatkan dirinya menjadi bagian kecil dari sistem yang lebih besar, baik sistem sosial maupun sistem alami padahal persepsi terhadap kedua sistem (sosial dan alami) serta persepsi ekologis yang esensial untuk pemecahan masalah lingkungan (Dabusaputro, 1981). Lebih jauh beliau menuliskan bahwa sistem pendidikan yang ada tidak memberi kontribusi untuk penggunaan keterampilan yang semestinya dan bakat yang diperlukan untuk menghargai diri (self-esteem) juga untuk pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat. Terlalu menekankan kepada intelegensi. Dengan demikian hal paling penting dalam menanggulangi masalah lingkungan adalah perubahan mendasar sikap manusia terhadap lingkungan.

Jika tujuan PLH ditekankan kepada perubahan sikap maka langkah pembelajaran yang dapat ditempuh adalah dengan menghadapkan siswa kepada permasalahan lingkungan yang ada. Setelah itu lanjutkan klarifikasi nilai, yaitu siswa diberikan kesempatan untuk menilai kondisi, membuat pilihan pemecahan dari alternatif yang tersedia dan menentukan langkah pemecahan. Sikap akan dapat terbentuk melalui cara tersebut dan diperkuat dengan memperbanyak contoh oleh guru (Harlen, 1992).

Guru PLH khususnya dan bahkan semua guru memiliki peran penting di dalam menyukseskan program PLH, membangun gaya hidup dan menanamkan prinsip keberlanjutan dan menerapkan etika lingkungan. Bagaimana guru PLH mencapai tujuan PLH dan membangun gaya hidup yang selaras dengan lingkungan? Guru memulai dengan menampilkan permasalahan (belajar berbasis masalah) lingkungan yang dihadapi dalam dunia kehidupan seharihari di sekitar siswa kemudian dilanjutkan dengan diskusi aktif untuk mencari akar permasalahan dan dilanjutkan dengan langkah pemecahan masalah. Langkah berikutnya adalah menampilkan prinsip-prinsip keberlanjutan dan etika lingkungan melalui diskusi aktif di dalam kelas. (Adisendjaja, 2008). Guru dapat mendorong siswa untuk memperluas kemampuan dalam mengimplementasikan prinsip keberlanjutan dan etika lingkungan dengan memberi contoh-contoh. Prosedur ini merupakan salah satu cara pembelajaran yang menekankan kepada keterlibatan siswa agar mampu mengonstruksi pengetahuan dan keterampilannya. Cara ini sejalan dengan filsafat konstruktivisme.

Dalam proses pembelajarannya, PLH jangan dijadikan sebagai topik hafalan tetapi harus dikaitkan dengan dunia nyata yang dihadapinya sehari-hari (kontekstual) dan dunia nyata ini harus dijadikan obyek kajian dalam konsep PLH. Obyek kajian PLH ada di lingkungan sekitar sekolah. Setiap sekolah memiliki lingkungan yang berbeda sehingga akan semakin menarik karena keragamannya. Walaupun obyek kajiannya berbeda namun tujuan pembelajarannya tetap sama.

Pendidikan Lingkungan Hidup dapat diajarkan dengan menerapkan pendekatan konteksual. Penerapan pendekatan kontekstual (CTL) dalam kelas langkahnya adalah sebagai berikut: (Depdiknas, 2003)
  1. Mengembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilannya.
  2. Melaksanakan kegiatan inkuiri (dengan siklus observasi, bertanya, berhipotesis, pengumpulan data, dan penarikan kesimpulan).
  3. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
  4. Menciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok,  kelompok kecil, kelompok kelas sederajat atau mendatangkan ahli).
  5. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran. (guru berperan sebagai model dalam melakukan sesuatu, misal pembibitan tanaman, pendaur ulangan, dsb)
  6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan (misal pernyataan langsung tentang yang diperoleh pada pembelajaran, catatan atau jurnal di buku siswa, kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran, diskusi atau hasil karya).
  7. Lakukan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment) seperti menilai kegiatan dan laporan, PR, kuis, karya siswa, laporan, jurnal, hasil tes, dan karya tulis).

PLH dapat diajarkan melalui berbagai cara seperti observasi, diskusi, kegiatan atau praktek lapangan, praktek laboratorium, laporan kerja praktek, seminar, debat, kerja proyek, magang dan kegiatan petualangan. Hal yang perlu diingat adalah jangan hanya ceramah tentang konsep sehingga siswa hanya mendengarkan dan pasif. Cara ini tidak akan bermakna tetapi sebaliknya siswa harus dilibatkan secara aktif mentalnya agar dapat mengonstruksi pengetahuan, pengalaman, dan keterampilannya yang pada gilirannya akan dapat diterapkan dalam kehidupannya dan ditransfer kepada orang lain.

Tempat yang dapat dijadikan obyek kajian sangat bervariasi: lingkungan sekolah, lingkungan tempat tinggal, lingkungan perkotaan, pasar, terminal, selokan, sungai, sawah, taman kota, lapangan udara, pembangkit tenaga atom, danau, instalasi pengolahan air minum, pengolahan sampah, pipa buangan rumah tangga, tempat pembuangan sampah dan lingkungan lain di sekitar atau dekat sekolah.

Masalah yang dapat diangkat jadi topik pembelajaranpun sangat beragam mulai dari masalah sampah rumah tangga, sampah industri, penggunaan deterjen, pestisida, pupuk buatan, aerosol dan spray, pencemaran tanah, air, udara, kekurangan air, banjir, penurunan air tanah, penggundulan hutan, hutan dan taman kota, bahkan illegal loging. Tentu masalah yang diangkat sesuaikan dengan kemampuan dan tingkatan berpikir siswa. Siswa TK dan SD bahkan kelas 7-8 harus yang bersifat konkrit sesuai dengan tahap perkembangan berpikirnya yang operasional konkrit.

Mengacu kepada filsafat konstruktivis, proses belajar dikatakan terjadi pada diri siswa jika informasi yang diterima terintegrasi dalam keyakinan siswa dan siswa berperan aktif dalam proses belajar. Belajar merupakan konstruksi aktif makna-makna dalam diri siswa. Dengan demikian siswalah yang harus membangun konsepnya (Hein, 1991; Black & McClintock, 1995). Siswa harus lebih aktif di dalam menemukan jalur belajarnya. Dengan keterlibatan siswa yang maksimum dalam belajarnya maka siswa akan memiliki wawasan yang lebih mapan.

Langkah pembelajaran berdasarkan filsafat konstruktivis adalah sebagai berikut (Black & McClintock, 1995) adalah:
  1. Observasi, siswa melakukan observasi situasi yang sebenarnya
  2. Konstruksi interpretasi, siswa mengonstruksi interpretasinya berdasarkan observasi dan mengonstruksi argumen untuk kesahihan atau validitas interpretasinya.
  3. Kontekstualisasi, siswa mengakses latar belakang dan materi kontekstual dari berbagai cara, sumber untuk membantu interpretasi dan argumentasi.
  4. Magang kognitif, siswa berperan sebagai siswa yang magang kepada gurunya untuk menguasai observasi, interpretasi, dan argumentasi.
  5. Kolaborasi, siswa berkolaborasi dalam observasi, interpretasi dan kontekstualisasi.
  6. Interpretasi majemuk, siswa mendapatkan keluwesan kognitif dengan menunjukkan interpretasi yang beragam.
  7. Manifestasi majemuk, siswa mendapatkan hal yang dapat ditransfer dengan melihat manifestasi multiple dari interpretasi yang sama.
Dengan demikian jika konsep atau materi ajar PLH diajarkan dengan cara tersebut di atas yaitu dengan melibatkan siswa secara aktif (bukan hanya mengisi LKS tetapi aktif secara mental) maka diharapkan terbentuk siswa yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang peduli terhadap masalah lingkungan dan mampu berperan aktif dalam memcahkan masalah lingkungan, memiliki kemampuan menerapkan prinsip keberlanjutan dan etika lingkungan dalam kehidupan sehariharinya. Pengetahuan dan pengalaman siswa dapat ditularkan kepada orang lain seperti kepada orangtuanya, saudara-saudaranya, teman bermain di lingkungan tempat tinggalnya. Dengan demikian akan terbangun masyarakat yang peduli dan mampu menerapkan prinsip keberlanjutan dan etika lingkungan. Jika masyarakat mampu menerapkan prinsip keberlanjutan dan etika lingkungan maka masalah lingkungan dapat diatasi.

F.     Penutup
Pendidikan Lingkungan Hidup perlu mendapatkan perhatian, dukungan dari semua pihak, kesungguhan pemerintah dan guru agar berjalan sesuai dengan yang diharapkan yaitu membangun masyarakat yang peduli lingkungan dan mampu berperan aktif dalam memecahkan masalah lingkungan.

Dalam  proses pembelajaran PLH, siswa harus dilibatkan secara aktif (terlibat proses mentalnya) dalam mengonstruksi pengetahuan, sikap dan keterampilannya. Filosofi yang harus digunakan dalam pembelajaran adalah konstruktivis dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah (PBL), pembelajaran kontekstual (CTL), inkuiri, dan klarifikasi nilai. Penekanan pembelajaran bukan pada penguasaan konsep tetapi pengubahan sikap dan pola pikir siswa agar lebih peduli terhadap masalah lingkungan, mampu menerapkan prinsip keberlanjutan dan etika lingkungan.

Oleh karena itu dalam pengembangan program PLH harus ditujukan pada aspek tingkah laku manusia, terutama interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya dan kemampuan memecahkan masalah lingkungan. Dengan demikian guru PLH tidak cukup hanya dengan memiliki pemahaman tentang lingkungan, tetapi juga harus memiliki pemahaman mendasar tentang manusia. Dengan cara-cara ini diharapkan siswa mendapatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan secara lebih bermakna, mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari dan menularkan kepada lingkungan keluarga dan masyarakat sekitarnya. Melalui cara ini akan terbentuk masyarakat yang memiliki  sikap positif, peduli terhadap lingkungandan mampu berperan aktif dalam memecahkan masalah lingkungan serta mampu menerapkan prinsip keberlanjutan dan etika lingkungan dalam kehidupannya.

Beberapa ketrampilan yang diperlukan untuk memecahkan masalah adalah sebagai berikut ini.
  1. Berkomunikasi: mendengarkan, berbicara di depan umum, menulis secara persuasive, desain grafis;
  2. Investigasi (investigation): merancang survey, studi pustaka, melakukan wawancara, menganalisa data;
  3. Ketrampilan bekerja dalam kelompok (group process): kepemimpinan, pengambilan keputusan dan kerjasama.



G.    Pustaka
Black, J. B. and McClintock, R. O. 1995. Constructivist Learning Environment, New Jersey: Englewood Cliff, Educational Technology Publications Chiras, D. D. 1992,Lessons from Nature:Learning to Live Sustainably on the Earth. Washington D.C.: Island Press.

Chiras, D. D. 1993. Eco-Logic: Teaching the Biological Principles of Sustainability,TheAmerican Biology Teacher: Volume 55 No. 2: 71-76 

Danusaputro, St. M. 1981. Environmental Education and Training. Bandung: Binacipta Publishing Company

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama 

Harlen, W. 1992, The Teaching of Science. London: David Fulton Publisher.

Hein, G. E. 1991. Constructivist Learning Theory. CECA (International Committee of Museum Educators) Conference, Jerussalem Israel 

James, S. A. & Stapp, W.B. 1974. Environmental Education, New York: John Willey & Sons.